On the top of that, dari dulu nama panggilan 'Ndut' sudah melekat pada diri gue. Not that I like it though, at some points it made me hate my body. Really really hate it.
Seperti kita ketahui (banget), di dunia sekarang, standar cantik adalah kurus tinggi semampai. Yang terlalu kurus atau gemuk pasti langsung kena olok-olok. Dan kalimat 'hei-lo-gendutan' atau 'hei-lo-kurusan' udah bisa menggantikan kalimat 'apa kabar' untuk memulai sebuah percakapan. (Kalimat ini pernah dipakai seorang teman yang udah berbulan-bulan nggak menyapa gue dan sampe hari ini gue belum balas.Think ethically, for fuck's sake.)
Kembali ke badan gue lagi. Tinggi badan gue 163 cm, standar tinggi badan wanita Asia Tenggara. Berat badan gue di saat gue nulis postingan ini 74 kg. Berhubung berat badan gue sangat fluktuatif, gue pernah mengalami masa super gendut dan juga lagi kurus-kurusnya.
Waktu SD dan SMP gue bisa dibilang gak segemuk yang sekarang, mungkin sehubung aktivitas gue sangat padat dengan sekolah full day sampai sore, disambung dengan segenap les dan kursus. Ditambah lagi waktu SMP gue cukup aktif di ekskul Taekwondo. Tapi pas masuk SMA, mulailah badan gue membengkak.
Awal masuk SMA, tahun 2009, ini penampakan gue:
Ngeliat kadar kurus-gemuknya gue, kalau nggak keliatan perut, lengan, dan paha, itu gampang, liat aja pipi gue. Kalau makin bulat berarti gue makin menggemuk. Di foto ini kayaknya berat badan gue masih di kisaran 65-68 kg, belum terlalu membengkak.
Setahun di asrama bukannya bikin gue nambah kurus, tapi kebalikannya. Dan semua foto serta orang-orang pun mengonfirmasi hal tersebut. Ini foto gue ketika belum lama naik kelas 2, Ramadhan 2010:
Iya, gue sayang dan suka banget sama rok abu-abu sekolah gue.
Pipi gue keliatan jelas makin lebar. Padahal ini lagi stres ngurusin Baksos angkatan. Di sinilah kenapa gue menggemuk selama di asrama: bukannya mogok makan selama stres, gue malah makin banyak ngemil. Parah emang. Di sini berat badan gue udah mulai menginjak angka 70 -- yang sering kali gue sangkal dengan dalih 'timbangan klinik sekolahnya eror'.
Setahun kemudian, berat badan gue kayaknya stabil di angka 72-74, dibuktikan dengan foto di bawah ini:
Ini foto ketika Ramadhan 2011. Sebelum lebaran, sebelum gue makin menggemuk lagi akibat semua penganan lebaran yang mantap dan berlemak luar biasa. Setelah lebaran, gue memutuskan untuk mulai diet dengan motivasi tampil lebih tipis saat acara wisuda kelulusan SMA.
Diet yang gue lakukan cukup ekstrim, dimulai dari pijat totok telinga untuk menurunkan nafsu makan, minum seduhan daun jati cina yang rasanya amit-amit tiap habis makan, puasa Daud (ini sih karena mau UN juga) dengan buka puasa tanpa camilan, porsi makan berkurang drastis dan menolak makanan-makanan yang biasanya gue makan tanpa ragu demi mengurangi asupan kalori juga.
Nyiksa? Banget. Sebulan pertama semua temen sekelas gue bilang kalau gue keliatan lemes banget. Tapi semua terbayar ketika pada bulan April 2012 berat badan gue turun hingga ke angka 62-63 kg dan penampilan gue jadi seperti ini:
Bahagia sih, sebenernya, kalau lihat hasil akhirnya. Tapi prosesnya bikin gue merinding ketakutan kalau nginget-nginget lagi.
Sepulangnya dari asrama, karena di rumah porsi makan dan kebiasaan puasa gue mulai kendor. Yang masih gue jaga dengan ketat adalah si jamu jati cina. Agaknya gue sedikit melebar karena ketika wisuda di bukan Juni 2012, gue jadi seperti ini:
Setelah wisuda, gue menjalani kehidupan kos-kosan di Salemba selama les di Institut Français d'Indonésie Salemba dari bulan Juni sampai November. Cukup terkontrol sih, berhubung gue sering kali ngirit makan demi menyimpan uang jajan untuk beli hal yang lain. Jamu jati cina juga masih gue jaga meski puasanya sering gue langgar. Paling tiap weekend aja yang agak kendor berhubung gue pulang ke rumah
Foto gue November 2012:
Di periode ini gue jarang banget nimbang. Bisa dibilang gue jadi takut banget liat timbangan, kayak angka-angka itu meneror otak gue untuk diet lagi dan segala macam. Gue suka banget makan, diet adalah masalah besar buat gue.
Setelah bulan November, gue pulang ke rumah sampai bulan September, saat gue berangkat ke Prancis. Di periode inilah badan gue benar-benar membengkak. Gue jarang banget olah raga (kecuali nyapu, ngepel, cuci piring, dan ngejemur baju bisa dibilang olah raga) dan mau makan serta nyemil bener-bener gampang secara bokap gue rajin banget menyuplai camilan di rumah.
Ditambah lagi keluarga gue hampir tiap hari makan masakan Minang. Kadang beli, tapi juga sering bikin sendiri. Ya mau gimana lagi, nyokap gue orang Minang tulen. Inilah yang bikin gue nggak suka sayuran segar. Jangankan sayur segar, sayur bening aja gue nggak mau. Harus full berbumbu dan rasa asli sayurnya ketutup. Buah sih sering disajikan, tapi berhubung bokap gue doyan banget pepaya sementara gue benci pepaya, jadilah gue jarang banget ikut makan.
Ini penampakan gue di bulan Juni 2013, kurang lebih sama kayak sekarang.
Lebaran 2013 adalah puncak penggemukan luar biasa gue. Gue sekeluarga merayakan Idul Fitri di tempat kakak nyokap di Bengkulu, di mana di hampir tiap rumah menyajikan mpek-mpek. Belum lagi tante gue masak sop buntut dan segenap masakan Minang lainnya.
Surga buat lidah, neraka buat badan.
Alhasil beginilah penampilan gue selama di Bengkulu:
Entah pengaruh hijab juga atau emang begitu, pipi gue kelihatan benar-benar bulat di semua foto lebaran tahun ini. Dan kerasa banget sih kalau semua celana menyempit. Kayaknya di periode ini berat badan gue berkisar di angka 78-80 kg.
Waktu gue berangkat ke Prancis bulan September, kayaknya berat badan gue ada di kisaran 78 kg sehubungan sebelumnya gue berkali-kali bolak-balik Tangerang-Jakarta naik umum demi mengurus visa dan membeli berbagai keperluan untuk survival di Prancis. Gue juga melunasi semua utang puasa gue sebelum balik ke Prancis. Tapi yang terakhir ini sama aja bohong sih sehubungan gue buka puasa dengan segala makanan favorit gue kayak martabak manis, cakwe, otak-otak, dan tentu aja, sate padang.
Namanya juga mau setahun meninggalkan itu semua =w=
Ini dia foto-foto gue di hari pertama tiba di Paris:
Lepek karena udah malam banget dan gue baru aja melewati sembilan belas jam lebih perjalanan
Bulan pertama di Grenoble, bisa dibilang berat badan gue susut seiring gue homesick abis dan jadi nggak nafsu makan saking depresinya. Makan cuma sedikit, itupun pasta doang, bukan nasi. Malam cuma makan sedikit corn flakes sama buah. Pagi kadang nggak sarapan. Ditambah lagi gue harus jalan sekitar 15 menit dari tempat tinggal lama gue ke perhentian bus tiap harinya (berakhir ketika gue pindah tempat tinggal di awal November).
Foto bulan Oktober 2013:
Foto awal November 2013:
Laskar PPI Grenoble 2013/2014 beserta bapak Duta Besar Indonesia untuk Prancis dalam acara Foire Internationale de Grenoble 2013
Gemuk? Masih. Kayaknya di foto ini berat badan gue sekitar 76 kg (gue inget karena ketika gue nimbang di tempat Mbak Fida, gue dan Kak Ditya -- kebaya biru muda, rok batik pink, rambut diurai -- berjanji untuk menurunkan berat badan). Gak lama setelah foto ini diambil, gue, Kak Ditya, dan Mbak Yanti (kebaya biru, kerudung biru, di samping kiri Kak Ditya) beli obat diet di apotek yang berbentuk kapsul. Bahan dasarnya dari teh kalau nggak salah, diminum setelah makan.
Iya, Mbak Yanti kurus. Gue juga nggak paham kenapa dia ikutan beli obat diet.
Obat diet ini pernah membawa bencana untuk kita bertiga. Jadi ceritanya tiap Jumat malam PPI selalu mengadakan pengajian dan kadang sekalian makan malam bareng. Suatu Jumat, tergoda harga diskon, gue dan Kak Ditya memutuskan untuk memasak kerang hijau untuk makan malam bareng itu. Seperti biasa kita minum obat diet setelah makan. Malamnya sih nggak kenapa-napa, nah besok paginya baru ada kejadian.
Semua anggota PPI diundang untuk makan siang di rumah salah satu keluarga franco-indonesian di Prancis. Tiba-tiba pagi harinya Mbak Yanti undur diri untuk ikut dengan alasan diare. Awalnya kita bingung, kenapa ini anak bisa mendadak diare? Eh nggak berapa lama kemudian, gue ikutan diare. Puncaknya ketika udah di rumah keluarga ini gue sampe mondar-mandir ke toilet dan ujung-ujungnya muntah. Satu kata: memalukan. Untung si Mbak yang jadi tuan rumah baik hati dan memberikan gue obat diare yang manjur. Nah besoknya baru giliran Kak Ditya yang ikutan diare. Sisanya anak PPI lain yang ikut makan kerang itu nggak kenapa-napa, cuma kita bertiga aja yang diare. Akhirnya kita menyimpulkan kalau kombinasi kerang dan obat diet itulah yang bawa bencana.
Bulan Januari, hasil obat dietnya mulai kelihatan. Mungkin karena gue makan juga nggak pernah banyak banget juga. Berat badan gue turun ke angka 74.
Sebenernya gue nggak suka lihat foto-foto gue selama musim dingin karena gue selalu pakai baju lapis banyak dan itu membuat gue kelihatan sangat besar, tapi ya sudah lah, here you go:
Januari 2014:
Maret 2014:
Sampai hari ini, berat badan gue stabil di angka 74-75 kg. Tapi gue tetep merasa sehat dan pede, nggak peduli orang lain mau bilang apa. Well kadang-kadang sebel juga sih kalau dikatain 'gendut', tapi terus mau apa? Emangnya dia mau beliin gue obat diet atau bayarin sedot lemak?
Untuk gaya baju gue, gue hampir nggak pernah ngikutin guideline berpakaian untuk cewek-cewek plus size. I wear what I want - and what's clean inside my wardrobe
Gue sejak di sini jadi suka banget pakai rok mini atau dress di atas skinny jeans/jeggings/legging-stocking. Mungkin gue bosen setelah sekian tahun pakai baju-baju berkesan maskulin terus - kaos oblong, kemeja cowok, sweter cowok, jaket cowok, celana kargo, et cetera -, dan gue emang dari dulu pengen pakai baju-baju unyu yang mengijinkan gue bilang 'kawaii' dengan bebas.
Gue tetep suka pakai kaos, tapi di bawahnya gue pakai rok mini. Kalau mampir ke butik, gue sudah pasti nyamperin rak dress atau rok.
Banyak yang bilang badan gue nggak cocok untuk pakai rok yang berlipat atau berkerut di pinggang, I say; fuck that! I wear what I want. Gue juga mengurangi koleksi baju warna kelam gue dan menambah warna-warna cerah.
Untuk gaya hijab, untuk sehari-hari gue masih mengandalkan kerudung segi empat bahan paris dengan berbagai warna pilihannya dengan alasan praktis dan simpel. Gue makin jarang styling hijab atau pashmina untuk pemakaian sehari-hari karena biasanya gue udah repot sendiri karena harus masak makan siang sebelum berangkat ngampus. Pashmina cuma dipakai sesekali kalau jalan atau ada acara.
Sekarang, gue berdamai dengan tubuh plus size gue dan selera makan gue. Gue makin nyaman dengan tubuh gue dan menerima tubuh gue apa adanya. Gue belajar untuk nggak mengutuk bagian-bagian tubuh gue yang nggak sesuai dengan standar kecantikan jaman sekarang. Gue belajar untuk menghargai apa yang gue punya, apa yang diberi pada gue. Dan gue berusaha untuk merawatnya sekuat tenaga karena badan ini yang satu-satunya gue punya.
Tapi tetep, kalau lo menyapa gue dengan menyebutkan gemuknya gue pertama kali setelah sekian bulan nggak nyapa, jangan heran kalau reaksi gue berubah jadi asem.
Really dude, it is NOT a proper way to greet someone.
Love your body, Beauty Warriors, no matter what size, what shape it has! Here's some self confidence boost for you ヾ(*´∀`*)ノ
((Gue akuin gue emang sangat kurang gaul sih di dunia per-beauty blogging-an, tapi gue jarang banget liat beauty blogger yang bodinya plus size. Kalau ada yang tahu tolong kasih tahu gue ya :D))
Cheers!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar